Iringan Doa Ibu untuk Perjuangan Hidup


Judul Buku :  Ibuk
Pengarang :  Iwan Setyawan
Penerbit : PT Gramedia Utama Jakarta
Tahun : Juni 2012
Tebal : 209 halaman

Banyak buku berkisah tentang perjuangan hidup dari keluarga sangat sederhana, banyak anak, dan tak ketinggalan peran orangtua terutama seorang Ibu. Namun demikian, dengan penuturan dan jalan cerita yang berbeda dari tiap penulis, kisah bertema demikian masih enak dibaca dan dinikmati karena mengandung banyak pesan-pesan inspiratif.

Ibuk, adalah penjelmaan gadis yang sangat sederhana dari kaki gunung Panderman, bernama Tinah, yang tidak lulus SD karena jatuh sakit menjelang ujian akhir kelas 6. Pada usia 16 tahun membantu Mbok Pah, neneknya, berdagang baju bekas di Pasar Batu dan di sana lah dia berjumpa sang jodoh, Sim atau Hasyim, seorang kenek angkot, playboy pasar.

Setelah menikah, Sim, sang Bapak, setiap hari berangkat kerja selepas subuh hingga larut malam, maka jadilah Tinah seorang Ibuk yang mengurus seluruh roda perputaran nafas dalam keluarga tersebut. Selain kesibukan urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, setrika dan membersihkan rumah, Ibuk juga mengatur dan memikirkan bagaimana kelangsungan hidup anak-anaknya kelak. Ibuk tidak mau kelima anak-anaknya tidak lulus SD dan ada yang menjadi kenek angkot seperti Bapak.

Penghasilan Bapak yang tidak menentu setiap harinya membuat Ibuk harus pintar menyiasati menu makanan dan pintar menjawab dengan bijak satu-persatu permintaan kebutuhan anak-anaknya terutama kebutuhan pendidikan. Jika ada uang lebih, tak segan Ibuk memasakkan menu istimewa empal goreng berjumlah 7 potong, seorang satu potong. Tapi jika kebutuhan anak-anak begitu memaksa untuk disegerakan, Ibuk pun terpaksa meminjam uang yang dicicil harian pada Bang Udin, tukang kredit.

Permasalahan hidup yang terjadi di sini sebenarnya klise, banyak terjadi di kalangan kurang mampu, yaitu permasalahan kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan. Bagaimana Bapak kerepotan menghadapi kerusakan demi kerusakan angkotnya cukup membuat pembaca resah, jatuh kasihan. Bahkan ketika Bapak akhirnya bisa mempunyai angkot sendiri, membeli angkot bekas yang kemudian ternyata juga sering rusak, membuat pembaca berpikir bagaimana cara mengatasi kesusahan demi kesusahan tersebut. Namun ada yang menjadi penyeimbang dalam permasalahan uang keluarga Ibuk, kelima anaknya adalah anak-anak yang mengerti kondisi keluarga mereka. Anak-anak yang mengerti tanggung jawab, mempunyai tekad belajar yang kuat, dan mencintai keluarga. Jika saja anak-anak Ibuk ada yang ‘tidak baik’ ataupun keluarga Ibuk terlilit masalah utang, yang juga banyak terjadi di kalangan kurang mampu, maka permasalahan semakin rumit.

Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, kelima anak Ibuk. Mereka adalah lima hati yang telah menghangatkan rumah Ibuk. Untuk merekalah Ibuk dan Bapak bertekad berlayar dengan gagah. Kegagahan mereka secara bertahap bisa menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi dan mengecap bangku kuliah. Sampai di sini cerita banyak terfokus pada Bayek, anak lelaki satu-satunya Ibuk dan Bapak yang oleh Mbah Carik, orang pintar di Gang Buntu, dikatakan bahwa kelak anak laki-laki inilah yang akan membahagiakan Ibuk.

Setamat SMA, Isa kursus komputer dan memberikan les privat. Nani bisa kuliah di Brawijaya. Bayek, diterima di jurusan Statistika IPB melalui jalur PMDK. Demi Bayek bisa berangkat kuliah ke Bogor, angkot kesayangan Bapak dijual, Bapak kemudian bekerja pada tetangga sebagai sopir truk.

Empat tahun yang penuh kerinduan, keprihatinan, dan perjuangan, akhirnya Bayek lulus kuliah. Disaksikan oleh Ibuk dan Isa, Bayek maju ke atas panggung sebagai lulusan terbaik. Di sini pembaca akan turut larut dalam suasana haru yang membanggakan.

Kisah selanjutnya adalah perjalanan Bayek menapak karirnya, dimulai dari Jakarta pindah ke New York, yang selalu diiringi doa Ibuk dan keluarganya. Setiap hari meluangkan waktu menelepon, untuk turut merasakan kehangatan dalam keluarganya. Sedikit demi sedikit Bayek bisa mengirim uang untuk Ibuk, untuk membantu sekolah adik-adiknya, memperbaiki rumah, membangun rumah untuk kakak dan adiknya, sampai membangun kost di atas tanah warisan Bapak di Jogja. Setelah melalui 9 musim panas dan 10 musim gugur, Bayek memutuskan kembali ke Indonesia, kembali pada Ibuk dan keluarganya, kembali ke surga kecilnya.

Pembaca akan menemukan beberapa peristiwa mengharukan lagi  dalam cerita ini dan bagaimana pada akhirnya buku ini terlahir. Pembaca juga akan bertanya-tanya dan menebak, apakah cerita ini merupakan pengalaman hidup sang penulis sendiri?

Secara keseluruhan buku ini layak dibaca oleh segala usia. Banyak hal baik dapat dijadikan pelajaran. Untuk para Ibu dan para Bapak, juga untuk anak-anak bangsa ini. Bahwa hidup adalah berjuang, diiringi doa dan cinta keluarga.

Peresensi: Yunita Nursyamsiah
Penikmat Buku, Tinggal di Sleman, Yogyakarta

Sumber

Artikel Menarik Lainnya :

Ditulis oleh sandal - Thursday, August 30, 2012 - 1:03:00 PM

Belum ada komentar untuk " Iringan Doa Ibu untuk Perjuangan Hidup"

Post a Comment